Ahad, 6 September 2009

Badar al Qubro -jilid 5-


Sebelum Peperangan

Rasulullah saw. dan para sahabat begitu bersemangat. Mereka memilih tempat yang tepat di arena peperangan. Mereka mendirikan sebuah podium sebagai tempat untuk pemimpin yang dijaga dengan ketat. Barisan pasukan mulai di atur dan kalimat “Ahad… Ahad…” dipilih sebagai bahasa sandi di antara sesama muslim. Hal ini untuk menghindari kesemerawutan, dimana pasukan muslim menghantam saudaranya sendiri ketika perang sedang berkecamuk. Rasulullah saw. memerintahkan pasukannya untuk tidak memulai penyerangan kecuali setelah mendapatkan perintah. Hal ini agar mereka tidak terpancing oleh orang musyrikin untuk berperang tanpa hasil. Rasulullah saw. berpesan, “Jika mereka menyerang kalian, maka lemparlah mereka dengan anak panah. Jangan kalian bergerak menyerang mereka sampai aku mengizinkannya.”

Demikianlah Rasulullah saw. mempersiapkan segalanya dengan sangat matang. Beliau letakkan segala sesuatunya sesui dengan tempat yang seharusnya. Beliau tidak menyisakan celah untuk hal yang sifatnya tiba-tiba tanpa terencana. Kemudian beliau bertawakkal menyerahkan semuanya kepada Allah swt. setelah berupaya secara optimal sebatas kemampuannya sebagai manusia.

Lawan Tanding

Kedua pasukan pun akhirnya saling berhadapan. Fanatisme jahiliah begitu tampak jelas pada pada diri orang-orang musyrik. Setiap orang ingin memperlihatkan kedudukan dan keberaniannya. Muncullah kemudian Al-Aswad bin ‘Abdul Asad Al-Makhzumi. Ia dikenal sebagai seorang yang sangat sadis dan biadab. Dengan nada tinggi ia menantang, “Aku berjanji kepada Tuhan bahwa aku akan meminum dari kolam mereka (yaitu kolam yang dibikin oleh orang-orang muslim), atau aku akan menghancurkannya, atau aku akan mati karenanya.” Ia pun menyerang kolam tersebut. Hamzah bin ‘Abdul Muththalib segera bergerak. Ia ayunkan pedangnya hingga menebas setengah dari kaki bagian bawahnya sebelum ia sempat sampai ke kolam tersebut. Namun demi keangkuhan sumpahnya ia merayap. Hamzah pun langsung menenggelamkannya di dalam kolam. ‘Utbah bin Rabi’ah terpancing emosinya. Ia ingin menunjukkan keberaniannya. Tampil pula bersamanya, saudaranya Syaibah dan anaknya Walid. Ia pun menantang untuk berduel. Tiga orang pemuda dari kalangan Anshar gugur di hadapan mereka. Rasulullah saw. pun kembali menjawab tantangan mereka. Maka majulah ‘Ubaidah bin Al-Harits, Hamzah bin ‘Abdul Muththalib, dan ‘Ali bin Abi Thalib, kesemuanya adalah dari keluarga Rasulullah saw. Beliau mengutamakan kemampuan mereka atas dasar keberanian dan pengalaman mereka dalam berperang sudah sangat masyhur. Dengan izin Allah swt. pula akhirnya mereka berhasil mengalahkan orang-orang Quraisy. Semangat kaum muslimin kembali terdongkrak dan kekuatan orang-orang kafir pun mulai berjatuhan.

‘Ubaidah (prajurit yang paling muda) berhadapan dengan ‘Utbah, Hamzah berhadapan dengan Syaibah, sementara ‘Ali berhadapan dengan Walid bin ‘Utbah.

Hamzah tidak mengulur-ulur waktu untuk membunuh Syaibah. Demikian pula halnya yang dilakukan oleh ‘Ali terhadap Walid. Berbeda dengan ‘Ubaidah, baik ia maupun ‘Utbah sama-sama terluka. ‘Ali dan Hamzah pun segera mengayunkan pedang mereka hingga ‘Utbah tersungkur mati. Lalu keduanya membawa ‘Ubaidah ke perkemahan pasukan untuk diobati. Peristiwa ini merupakan satu awal yang baik bagi kaum muslimin sekaligus bencana bagi orang-orang musyrikin. Awal yang memilukan ini benar-benar telah membuat mereka berang. Mereka mencoba memancing emosi kaum muslimin, namun umat Islam kala itu mampu menahan diri hingga datang perintah dari Rasulullah saw. untuk melakukan penyerangan.

Rasulullah saw. Bermunajat Kepada Allah swt.


Pada saat kritis sudah seharusnya seorang hamba kembali dan berlindung kepada Allah swt. Mereka harus benar-benar memurnikan niat dan meluruskan tujuan serta menundukkan hati agar Allah swt. berkenan memecah kesukaran dan menganugarahkan kemenangan. Oleh karena itu, di tempat peristirahatannya Rasulullah saw. menghadapkan wajah ke kiblat sambil mengangkat kedua tangannya ke langit. Rasulullah saw. pun berdoa memohon kepada Tuhannya, “Ya Allah, orang-orang Quraisy telah datang dengan kesombongannya. Mereka ingin mendustakan Rasul-Mu. Ya Allah, aku bermunajat memohon janji-Mu. Ya Allah, tunaikanlah apa yang telah menjadi ketetapanMu. Ya Allah, berikanlah apa yang telah Engkau janjikan kepadaku. Ya Allah, jika kelompok yang kecil dari umat ini binasa sekarang, maka Engkau tidak akan disembah di muka bumi ini.”[1]

Demikianlah beliau terus bermunajat memohon kepada Allah swt. sambil mengangkat kedua tangannya sampai sorbannya jatuh dari atas pundaknya. Abu Bakar pun mendatanginya dan meletakkan sorban itu pada kedua pundaknya. Lalu ia berkata dari belakangnya, “Wahai Rasulullah, cukuplah apa yang telah kau minta kepada Tuhanmu karena sesungguhnya Ia akan memberikan apa yang telah dijanjikannya kepada-Mu.” Namun Rasulullah saw. tidak berhenti berdoa kecuali setelah Allah swt. menurunkan firman-Nya, “Ingatlah ketika kalian memohon pertolongan kepada Tuhan kalian. Maka Ia pun mengabulkannya bagi kalian. Sesungguhnya Aku benar-benar membantu kalian dengan seribu malaikat yang berada di belakang. Dan Allah tidaklah menjadikan hal tersebut kecuali sebagai sebuah kabar gembira dan agar hati-hati kalian bisa tenang dengannya. Dan tidaklah kemenangan itu kecuali hanya datang dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Kemudian Rasulullah saw. berkata, “Bergembiralah, wahai Abu Bakar, pasukan itu akan dilumatkan dan lari ke belakang. Bergembiralah karena pertolongan Allah swt. telah datang. Ini Jibril memegang kendali kuda dan menungganginya. Pada giginya terdapat debu.”

Rasulullah saw. Memobilisasi Semangat Pasukan Untuk Bertempur

Meskipun Allah swt. telah menjamin kemenangan bagi dirinya, namun Rasulullah saw. tidak tinggal diam menunggu pertolongan dari langit. Karena beliau benar-benar sadar bahwa kemenangan tidak akan datang kecuali dengan mengikuti semua perintah dan ketentuan Allah swt., persiapan yang matang dan kejujuran hati. Karena sesungguhnya Allah swt. tidak akan mengubah apa yang sedang menimpa sebuah kaum hingga mereka berupaya untuk mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri. Oleh karenanya, harus ada satu upaya keras dan pengorbanan yang berlipat hingga kaum muslimin memang benar-benar berhak mendapatkan pertolongan dan kemenangan tersebut.

Untuk itu, Rasulullah saw. pun turun ke tengah-tengah barisan pasukan dan memberikan khutbah (orasi) militer sebelum peperangan dimulai, untuk menumbuhkan optimisme dan menguatkan hati mereka.

“Demi zat yang jiwaku berada di antara kedua tangan-Nya. Tidaklah seseorang memerangi mereka pada hari ini, kemudian ia terbunuh dengan penuh kesabaran dan mengharap keridhaan dari Allah, maju dan tidak lari dari peperangan, niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga. Bangkitlah kalian menuju surga yang luasnya seluas lapisan langit dan bumi!” ‘Umair bin Himam Al-Anshari berkata, “Wahai Rasulullah, surga yang luasnya seluas lapisan langit dan bumi?” Rasulullah saw. menjawab, “Ya.” ‘Umair menimpali, “Bakh… bakh… (aku ridho… aku ridho).” Rasulullah saw. berkata, “Mengapa engkau mengatakan bakh?” ‘Umair menjawab, “Tidak, demi Allah, wahai Rasulullah. Aku hanya berharap agar aku akan menjadi penghuninya.” Rasulullah saw. menjawab, “Engkau akan menjadi penghuninya.”[4] Kemudian ‘Umair mengeluarkan beberapa buah kurma dari tempat anak panahnya yang terbuat dari kulit. Ia pun mulai memakannya satu persatu, lalu berkata, “Seandainya aku masih hidup hingga aku memakan seluruh kurma ini, tentu itu adalah kehidupan yang sangat panjang sekali.” Kemudian ia pun melemparkan kurma-kurma yang ada di tangannya dan berkata,

Berpacu menuju Allah tanpa perbekalan

Kecuali takwa dan amal untuk hari akhir

Serta bersabar di dalam jihad karena Allah

Semua perbekalan pasti akan habis, kecuali takwa, kebaikan, dan keteguhan.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan